Thursday, August 12, 2010

PUTING BELIUNG

Angin puting beliung adalah angin kencang, tetapi tidak semua angin kencang itu puting beliung. Tergantung kecepatan angin yang menyertainya. Kejadiannya tergolong singkat antara 3-5 menit namun jarang hingga 10 menit. Setelah itu diikuti angin kencang yang berangsur-angsur melemah kecepatannya. Angin kencang ini bisa berlangsung lebih dari 30 menit bahkan bisa lebih dari satu hari. Kecepatannya berkisar antara 20-30 knot. Kecepatan angin puting beliung sendiri dapat mencapai 40-50 km/jam. Puting beliung biasanya terjadi pada :
  1.   pancaroba baik dari hujan kemarau maupun sebaliknya, bisa juga terjadi di saat musim hujan yang hujannya masih banyak terjadi pada siang atau malam hari
  2. musim penghujan dengan kriteria sbb :
-       1 – 2 hari atau lebih kondisi cuacanya clear atau panas, biasanya hujan pada hari berikutnya akan lebat disertai petir dan angin kencang.
-       biasanya pada pagi hari cerah dan berawan, maka sore harinya berpeluang terjadi angin kencang / puting beliung

            Munculnya puting beliung bisa diperkirakan sekitar selepas pukul 13.00-17.00 WIB namun bisa saja pada waktu malam hari. Angin ini tidak datang tiba-tiba begitu saja, berasal dari jenis awan bersel tunggal berlapis-lapis (awan Cumulonimbus/Cb) yang dekat dengan permukaan. Jenis awan berlapis-lapis berbentuk seperti bunga kol ini menjulang hingga ketinggian 30.000 feet lebih. Dapat juga berasal dari multi sel awan dan pertumbuhannya secara vertikal dengan luas area horisontalnya sekitar 3-5 km. Karena terbentuk dari awan Cb yang sifat tumbuhnya tergantung dari intensitas konvektif yang sulit diperkirakan, maka tidak ada angin puting beliung susulan. Puting beliung sifatnya lokal dan tidak merata, jangkauannya kurang dari  1 kilometer.
            Puting beliung sulit diprediksi, namun tanda-tandanya dapat diketahui. Biasanya puting beliung terjadi pada tanah lapang yang vegatasinya kurang, jarang di daerah perbukitan atau hutan yang lebat. Tanda-tanda kehadiran puting beliung, satu hari sebelumnya udara pada malam hingga pagi hari terasa panas atau pengap. Sekitar pukul 10.00 pagi terlihat tumbuh awan Cumulus (awan belapis-lapis), di antara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepi yang tampak sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi seperti bunga kol. Tahap berikutnya, awan tersebut akan berubah warna dengan cepat menjadi hitam gelap. Jika pepohonan sekitar tempat kita berdiri ada dahan atau ranting yang bergoyang cepat, maka hujan dan angin kencang sudah akan datang. Di kulit terasa sentuhan udara dingin di sekitar tempat kita berdiri. Biasanya hujan yang turun adalah hujan yang tiba-tiba deras. Jika hanya gerimis, kejadian angin kencang jauh dari tempat kita berdiri. Jika terdengar sambaran petir yang cukup keras, ada kemungkinan terjadi hujan lebat disertai petir dan angin kencang.
            Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh angin puting beliung antara lain sebagai berikut:
  • biasanya hanya menghantam rumah non permanen atau rumah yang beratap seng / asbes maupun pelepah daun nipah serta rumah bedeng
  • atap rumah berterbangan
  • pohon yang rapuh

PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF

Fenomena cuaca ekstrim seperti curah hujan yang tinggi dengan periode yang singkat, kadang-kadang disertai dengan angin kencang (puting beliung), petir serta hujan es merupakan akibat dari dampak pemanasan yang tidak merata yang mengakibatkan massa udara dingin dan panas akan bersinggungan pada wilayah yang sempit dan menyebabkan turbulensi udara, sehingga akan menimbulkan terjadinya awan-awan konvektif yang cukup banyak dengan periode tumbuhnya yang cukup cepat seperti awan Cumulus Congestus dan Cumulonimbus (Cb).
Adapun awan-awan konvektif tersebut antara lain Cumulus Congestus dan Cumulonimbus (Cb). Awan Cumulus Congestus adalah seperti awan Cumulonimbus, perbedaannnya pada awan Cumulus Congestus belum cukup tinggi sehingga belum terbentuk puncak yang berwarna putih. Awan Cumulus adalah jenis awan kecil yang menjulang ke atas dengan dasar awan antara 600-1000 meter, tinggi puncaknya antara 1500-5000 meter. Cumulus kecil yang berbentuk seperti kapas tidak menimbulkan hujan, sedangkan Cumulus besar yang kehitam-hitaman dapat menghasilkan hujan lokal ringan.
Awan Cumulonimbus (Cb) adalah awan Cumulus yang besar dan menjulang tinggi sebagai awan hujan yang disertai angin kencang dan petir. Dasar awan Cumulonimbus antara 100-600 meter, sedangkan puncaknya dapat mencapai ketinggian 15 kilometer atau mencapai ketinggian tropopause. Dalam awan Cumulonimbus dapat terjadi batu es (hail), guruh, kilat, hujan deras dan kadang-kadang terjadi angin ribut (puting beliung). Awan Cumulonimbus bisa muncul dimana saja karena pemanasan matahari atau gerak vertikal, di tanah lapang atau tempat terbuka dengan panas matahari berlebih, sehingga dalam kondisi ini tekanan rendah terjadi dan akan terjadi perpindahan sejumlah massa udara ke tempat yang bertekanan rendah itu. Biasanya terlihat berupa angin berputar kecil dengan kecepatan tidak begitu tinggi dan hanya mampu menerbangkan benda-benda ringan ke udara, seperti kertas, daun kering, sampah plastik, debu dan pasir.
Adapun fase pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb) adalah sebagai berikut :
  1.        Pada fase tumbuh, awan calon Cumulonimbus akan terlihat tumbuh pesat terutama komponen vertikalnya karena seluruh gerakan atau arus dalam pertumbuhan awan bergerak ke atas sehingga semakin besar dan dapat menjulang tinggi di angkasa hingga ketinggian 15 kilometer. Substansi awan ini, semuanya berupa butiran air sampai ketinggian 5 kilometer dan butiran air bercampur salju (sampai puncaknya) sekitar 8 kilometer.
  2.           Fase dewasa atau matang tercapai jika puncak awan sudah membentuk landasan dengan bagian atas berbentuk datar karena awan padat ini mendapat tekanan dari tropopause yang sangat stabil dan panas. Pada fase ini substansinya berupa butiran salju di bagian bawah, bagian tengah berupa butiran air campur salju dan bagian puncak semuanya berupa butiran es (kristal). Pada tahap ini pula, arus udara dalam awan naik (up draft) dan turun (down draft) sehingga kristal-kristal es bisa menembus bagian bawah dan tengah. Dari sinilah lahirnya mekanisme hujan es (hail). Dan di antara arus udara naik dan turun ini terjadi arus geseran memuntir yang dalam kondisi tertentu tabung puntiran angin dapat menerobos sampai ke bumi mirip belalai gajah sehingga menimbulkan angin puting beliung.
  3.     Fase dissipasi (pelenyapan), ditandai dengan adanya arus udara ke bawah yang lemah di seluruh sel. Fase ini disertai dengan intensitas hujan yang makin menurun dari hujan sedang menuju hujan ringan.

LABILITAS UDARA

Perubahan cuaca dari cerah tanpa awan menjadi berawan atau hujan terjadi bila terdapat gangguan. Udara yang stabil bila mendapat gangguan akan kembali kekondisi semula, artinya tidak ada perubahan yang signifikan. Sebaliknya bila kondisi udara tidak stabil (labil), adanya gangguan akan mengakibatkan perubahan yang cukup berarti. Udara yang labil memungkinkan terbentuknya awan, khususnya awan yang mempunyai ukuran vertikal yang mencolok yang biasanya menimbulkan cuaca buruk [Prawirowardoyo, 1996].
Jika udara di atmosfer bergerak ke atas maka prosesnya adiabatik, yaitu suatu proses dimana tekanan, temperatur dan volume udara dapat berubah-ubah tanpa adanya penambahan atau pengurangan panas ke dalam udara tersebut. Udara yang bergerak vertikal akan mengalami perubahan suhu terhadap ketinggian, parsel udara dianggap kering (belum tercapai kondensasi) maka penurunan suhu parsel berlangsung dengan laju penurunan adiabat kering. Jika udara bergerak terus ke atas, penurunan suhu parselnya juga berlangsung terus. Dengan turunnya suhu parsel, kelembaban nisbinya akan bertambah, sehingga pada suatu saat uap air di dalam parsel menjadi jenuh maka laju penurunan suhu parsel berlangsung dengan laju penurunan adiabat jenuh hingga akhirnya terjadi kondensasi dan terbentuk awan.

Wednesday, August 4, 2010

LIFTED INDEX (LI)

Salah satu hal yang menarik dalam Meteorologi bahwa tantangan dalam membuat prakiraan adalah timbulnya hujan konvektif.  Badai guntur (thunderstorm) dapat terbentuk kurang dari 20 menit dan mempunyai dampak yang bersifat merusak. Terbentuknya badai guntur (thunderstorm) memungkinkan terjadinya hujan es (hail), hujan lebat, kilat mematikan, angin yang bersifat merusak dan kemungkinan terjadinya tornado.
Analisa atmosfer selama terjadinya badai guntur (thunderstorm) telah mendorong para ahli meteorologi untuk mengembangkan parameter-parameter yang menandai ada atau tidaknya kondisi-kondisi yang mendukung bagi perkembangan badai guntur (thunderstorm). Parameter-parameter tersebut menggambarkan bagaimana ketidakstabilan (labilitas) atmosfer yang menandai adanya kegiatan konveksi. Udara dingin pada level tinggi, udara hangat pada level yang lebih rendah dan kelembapan yang tinggi, semuanya dapat meningkatkan ketidakstabilan atmosfer ketika pembentukan angin pada ketinggian. Hal itu dapat mempengaruhi kekuatan badai guntur. Sejak model-model prakiraan dapat memprakirakan faktor atau parameter cuaca dalam atmosfer, maka para ahli meteorologi juga dapat memprakirakan ketidakstabilan dari atmosfer. Kemudian diikuti dengan berkembangnya berbagai macam indeks yang biasanya untuk mengindikasikan terjadinya cuaca hebat (severe weather) yang digunakan dalam membuat prakiraan, salah satunya adalah Lifted Index (LI).
Oleh karena keterbatasan dari Showalter Index (SI) yang tidak meliputi prakiraan pemanasan harian, maka kemudian Lifted Index (LI) dikembangkan oleh Joseph G. Galway dari US Weather Bureau SELS Center pada pertengahan tahun 1950. Beberapa pendekatan telah dikembangkan dalam perhitungan Lifted Index (LI). Masing-masing adalah suatu modifikasi dari Showalter Index (SI). LI merupakan suatu indeks yang digunakan untuk menganalisa tingkat kekuatan labilitas atmosfer. LI dihitung dengan anggapan suatu parsel udara dekat permukaan telah diangkat hingga lapisan 500 milibar (18000 feet), dimana parsel udara yang dinaikkan akan mendingin dengan penurunan suhu sebesar 3 ºC tiap 1000 feet atau sekitar 9.8 ºC tiap 1000 meter.
Berikut adalah prosedur penentuan nilai Lifted Index (LI) dikembangkan oleh Galway. Untuk menaksir nilai LI, mixing ratio (perbandingan campuran) rata-rata pada lapisan kurang dari 3000 feet pada sounding ditentukan oleh rata-rata area atau luasan yang sama. Kemudian suhu potensial rata-rata pada lapisan kurang dari 3000 feet pada saat konveksi ditentukan oleh prakiraan suhu maksimum pada siang hari dan dengan asumsi bahwa lapse rate adiabat kering akan berlaku melalui lapisan 3000 feet tersebut (jika pemanasan signifikan, atau pendinginan tidak diharapkan pada waktu siang hari, suhu rata-rata pada lapisan kurang dari 3000 feet ditunjukkan pada sounding yang digunakan).
Dari harga rata-rata LCL ditempatkan, kemudian garis adiabat basah yang melalui LCL tersebut dinaikkan hingga lapisan 500 milibar. Suhu pada lapisan 500 milibar dengan demikian dapat ditentukan, diasumsikan sebagai suhu udara yang naik di dalam awan jika terjadi suatu pertumbuhan (berkembang). Secara aljabar, perbedaan antara suhu lingkungan dengan suhu udara yang naik (hasil pengamatan dikurangi hasil perhitungan) pada lapisan 500 milibar menggambarkan LI (Lifted Index). Nilai LI pada umumnya secara aljabar lebih kecil atau kurang dari nilai SI (Showalter Index). Secara rumus, LI dapat ditentukan sebagai berikut :

LI = T500 - TP500

dimana LI adalah Lifted Index, T500  adalah suhu lingkungan pada lapisan 500 milibar (ºC) dan TP500  adalah suhu pada lapisan 500 milibar (ºC) yang akan dicapai suatu parsel udara jika dinaikkan secara adiabat kering dari permukaan hingga Lifted Condensation Level (LCL) dan kemudian secara adiabat basah hingga lapisan 500 milibar. Dalam proses pengangkatan, kurang dari 1 kilometer berarti perbandingan campuran (mixing ratio) digunakan baik seperti suhu permukaan hasil observasi maupun hasil prakiraan.

POLA IKLIM (POLA HUJAN) DI INDONESIA

Cuaca adalah keadaan fisis atmosfer pada suatu saat (waktu tertentu) di suatu tempat, yang dalam waktu singkat berubah keadaannya (gerak udaranya). Sedangkan iklim adalah keadaan rata-rata atmosfer pada suatu tempat dan dalam jangka waktu yang panjang. Faktor umum pembentuk cuaca dan iklim antara lain radiasi matahari, sirkulasi atmosfer dan faktor lokal.Indonesia terletak di sekitar ekuator yang diapit oleh dua benua,yaitu Benua Asia dan Australia dan dua samudera yakni Samudra Hindia dan Pasifik. Ditambah lagi wilayahnya yang berwujud kepulauan (maritim) menyebabkan Indonesia mempunyai cuaca dan iklim yang unik. Dua sirkulasi yakni Hadley dalam arah meridional dan Walker dalam arah zonal berpadu dan menyebabkan keragaman cuaca dan iklim yang tidak ada duanya di bumi ini. Posisi matahari yang bergerak semu dari 23.5º LU menuju ke 23.5º LS sepanjang tahun menyebabkan pengaruh monsun sangat dominan mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi yang sangat beragam maka sistem golakan lokal juga cukup dominan dan pengaruhnya terhadap keragaman iklim di Indonesia tidak dapat diabaikan. Pengaruh topografi yang kompleks memegang peranan penting dalam pembentukan cuaca dan iklim yang khas di suatu daerah, seperti angin lembah, angin gunung, angin darat dan angin laut. Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim Indonesia ialah gangguan siklon tropis.  Semua aktifitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun.
 Dari parameter cuaca dan iklim yang ada, curah hujan merupakan elemen iklim yang paling penting. Berdasarkan faktor-faktor dan variabel yang mempengaruhi pembentukan cuaca, maka secara umum pola iklim di Indonesia berdasarkan distribusi curah hujan bulanan maupun dasarian (sepuluh harian) dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan, yaitu :
1.   Pola hujan monsunal
Pola monsunal dicirikan oleh distribusi curah hujan bulanan berbentuk V dengan jumlah curah hujan musiman rendah pada bulan Juni, Juli atau Agustus. Pada kondisi normal, saat monsun barat akan mendapat curah hujan yang berlimpah (musim hujan) sedangkan pada saat monsun timur jumlah curah hujannya sangat sedikit (musim kemarau). Pada pola hujan monsunal wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.  Tipe grafik curah hujan bersifat unimodial (memiliki satu puncak musim hujan). Puncak maksimum musim hujan yaitu pada bulan Januari / Desember. Sementara itu lembah minimum terjadi pada bulan Agustus pada saat musim kemarau. Tipe monsunal dipengaruhi oleh angin musiman (monsun), baik angin baratan maupun angin timuran yang bertiup akibat adanya perbedaan musim di Belahan Bumi Utara (BBU) dan Belahan Bumi Selatan (BBS). Pola hujan monsunal terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera.

2.       2. Pola hujan equatorial
        Pola equatorial dipengaruhi oleh gerak revolusi bumi mengelilingi matahari, dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu mempunyai dua puncak musim hujan (berbentuk huruf M) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator atau pada saat terjadi ekinoks. Ekinoks terjadi dua kali selama periode revolusi (1 tahun) yaitu pada tanggal 21 Maret dan 23 September. Pada waktu ekinoks, energi matahari yang diterima pada daerah sekitar equator adalah maksimum, kemudian berkurang ke arah kutub sehingga energi matahari di daerah kutub menjadi nol. Selain itu, wilayah dengan pola ini mempunyai dua lembah minimum pada musin kemarau yang terjadi pada bulan Januari dan bulan Juli dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Pada pola ini, angin monsun kurang berpengaruh dibandingkan dengan pengaruh insolasi (radiasi matahari yang diterima bumi) pada saat terjadi ekinoks. Wilayah Indonesia di sepanjang garis equator sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, seperti Padang dan Pontianak.

3.     3.  Pola hujan lokal
           Tipe lokal lebih dipengaruhi oleh kondisi lokal suatu wilayah dan memiliki satu puncak maksimum yang terjadi pada musim hujan. Pada pola hujan lokal wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan berkebalikan dengan pola monsunal. Pola lokal memiliki ciri bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsunal. Sehingga puncak musim hujan terjadi sekitar pertengahan tahun. Pola hujan lokal dipengaruhi oleh efek orografi. Salah satu wilayah yang mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
   

Tuesday, August 3, 2010

SATELIT CUACA

       Penginderaan jarak jauh (remote sensing) merupakan suatu teknik atau suatu cara yang dilakukan untuk memperoleh informasi berupa data cuaca atau gambar dari suatu obyek, daerah ataupun dari suatu wilayah yang sedang diamati.Atau dapat juga diartikan sebagai suatu gejala cuaca yang diperoleh melalui analisa data yangmenggunakan suatu peralatan yang tidak berhubungan langsung dengan obyek, daerah, atau gejala yang sedang diamati (Lillesand dan Kiefer, 1979). Penginderaan jarak jauh (Remote sensing) dapat pula diartikan sebagai suatu teknik yang dikembangkan untuk perolehan data cuaca dan analisa informasi tentang bumi diman informasi tersebut khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi (Lindgren, 1985).
        Dan secara umum penginderaan jarak jauh (remote sensing) merupakan suatu proses membaca dengan menggunakan sensor yang merekam data dari  jarak jauh yang kemudian ditafsirkan dan dianalisa untuk mendapat informasi tentang obyek tersebut atau fenomea-fenomena yang sedang diteliti. Dalam hal ini, alat yang digunakan dalam penginderaan jarak jauh adalah alat penginderaan sensor. Secara garis besar penginderaan jarak jauh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu penginderaan jarak jauh aktif (contoh: LIDAR yang menggunakan sinar laser dan RADAR yang menggunakan gelombang pendek / microwave) dan penginderaan jarak jauh pasif (Contoh : satelit yang tidak memancarkan gelombang). Penginderaan jarak jauh aktif, sumber GEM nya berasal dari sumber GEM buatan, sedangkan penginderaan jarak jauh pasif, sumber GEM nya berasal dari alam, yaitu dari matahari, bumi atau objek itu sendiri. Maka di sini satelit merupakan penginderaan jarak jauh pasif, maksudnya adalah sensor yang tidak menghasilkan radiasi GEM hanya menerima dan tanggap terhadap radiasi gelombang yang jatuh pada sensor tersebut. Untuk mengetahui jenis, suhu, dan medan ketinggian awan. Sehingga satelit menggunakan sensor yang peka terhadap emisi radiasi dan pantulan GEM dari suatu obyek di permukaan bumi maupun yang ada di atmosfer. Sehingga dapat diketahui komposisi, struktur maupun keadaan fisis dari suatu obyek yang berada di permukan bumi maupun yang ada di atmosfer. Menurut orbitnya, satelit dibagi menjadi 2 macam yaitu satelit cuaca orbit geostasioner dan satelit cuaca orbit polar

Tipe satelit

Ada dua jenis tipe dasar satelit meteorologi: orbit geostationary dan orbit polar.
1.   Satelit Geostationary
       Satelit ini mengorbit di khatulistiwa pada tingkat kecepatan putar yang sama dengan rotasi bumi. Mereka mengorbit pada ketinggian 36000 km diatas titik tetap di permukaan bumi. Karena posisinya yang tetap, satelit ini mampu memonitor suatu region secara terus-menerus. Contohnya adalah GOES 9 (Geostationary Operational Environmental Satellite) yang merupakan satelit GOES terbaru dan diluncurkan pada tanggal 23 mei 1995.
    Citra yang diperoleh stelit ini merupakan citra real time, artinya begitu kamera mengambil gambar maka langsung ditampilkan , sehingga memungkinkan forecaster untuk memonitor proses dari sistem cuaca yang besar seperti fronts, storms and hurricanes. Arah dan kecepatan angin juga bisa diperkirakan berdasar monitoring pergerakan awan.

2.   Polar Orbiting Satellite
       Satelit ini mengorbit hampir paralel dengan garis meridien bumi. Mereka melewati kutub utara dan kutub selatan bumi tiap kali revolusi bumi. Saat bumi berotasi menuju timur dibawah satelit, tiap monitor mengoperkan gambar kebarat sehingga menghasilkan gambar dengan area yang lebih besar.
    Satelit polar memiliki keuntungan dalam memotret perawanan yang tepat berada dibawah mereka. Gambar satelit geostasioner untuk daerah kutub terdistorsi disebabkan sudut penglihatan satelit yang sempit kekutub. Satelit polar juga berputar pada ketinggian yang lebih rendah (kurang lebih 850 km) sehingga mampu menyediakan informasi badai dan sistem perawanan yang lebih mendetail.

Jenis-jenis Citra Satelit Cuaca

    Citra satelit cuaca merupakan gambaran rekaman daerah liputan awan di suatu daerah dimana citra tersebut terekam dalam sensor dengan menggunakan saluran yang sebagian besar merupakan saluran tampak (visible) dan saluran inframerah (IR).Sesuai tujuan awal untuk membantu manusia melakukan peramatan perawanan, citra satelit terbagi menjadi beberapa macam berdasarkan cara kerja dan sinar yang dipakai. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi. Ada dua cara satelit cuaca memperoleh data, ialah dengan merekam sinaran tampak dengan kamera televisi dan perekaman sinaran infra merah dengan menggunakan radiometer.

1.   Data gambar tampak (visible data)

    Semua benda karena menerima sinaran dari matahari dapat menjadi sumber sinaran kedua. Sinaran dari matahari oleh benda itu umumnya sebagian diteruskan, sebagian diserap dan sebagian dipantulkan kembali sewaktu sinaran tersebut mengenai benda tersebut, sedangkan yang diserap dipancarkan kembali pada saat itu atau pada saat berikutnya.

    Dari sinaran yang dipantulkan, menjadikan benda tersebut dapat dilihat secara langsung baik oleh mata atau oleh alat. Mata mampu melihat benda apabila benda tersebut memantulkan cahaya sinaran dengan panjang gelombang 0,4 – 0,7 mikrometer sedangkan alat dapat melihat berbagai panjang gelombang. Sinaran dengan panjang gelombang 0,4 – 0,7 mikrometer tersebut dinamakan sinaran sinaran gelombang tampak (untuk mata). Umumnya satelit cuaca menggunakan alat yang dapat menerima sinaran pantul gelombang 6 mikrometer. Sinaran dengan panjang gelombang 6 mikrometer ini dipandang paling baik, karena secara nisbi gelombang ini sedikit sekali mengalami hamburan di atmosfer.

    Dengan alat ini yang direkam adalah banyaknya sinar pantulan atau albedo dari bendanya. Setiap benda, termasuk berbagai jenis awan mempunyai albedo yang besarnya berbeda – beda. Perbedaan ini karena jenis permukaan dan struktur yang berbeda – beda. Oleh karena itu banyak dan sedikitnya albedo dari suatu permukaan dapat digunakan untuk membeda – bedakan benda atau awan yang memantulkan sinaran tersebut. Dengan kamera sinar tampak ini, benda atau awan yang paling banyak albedonya tampak paling putih. Awan Cumulonimbus (Cb) mempunyai albedo paling besar (± 92 %) dan Cumulus di cuaca cerah di atas permukaan daratan mempunyai albedo paling kecil (± 29%).

   Citra ini serupa dengan seolah-olah kita mengambil potret hitam-putih dari bumi. Bagian yang terang menunjukkan dimana sinar matahari dipantulkan kembali keangkasa akibat awan dan liputan salju. Berdasarkan citra ini awan dan salju terlihat sebagai warna yang cerah dan semakin tebal awan semakin cerah warnanya. Permukaan bumi ditampilkan sebagai abu-abu dan lautan nyaris mendekati hitam. Keterbatasan utama dari citra visible adalah ketersediaannya hanya pada waktu siang hari.

2.  Data Infra – Merah

    Berbeda dengan data tampak, data infra merah diperoleh dengan cara merekam sinaran infra merah yang dipancarkan benda (awan) dengan menggunakan radiometer. Sinaran infra merah ini dipancarkan oleh benda karena benda tersebut telah menyerap sebagian sinaran matahari yang jatuh pada benda itu. Banyaknya sinaran infra merah sebanding dengan suhu benda yang memancarkannya. Makin sedikit benda menyerap sinaran, makin sedikit sinaran infra merah yang dipancarkan kembali dan makin rendah suhu benda tersebut.

    Bila untuk memperoleh albedo, yang diambil adalah gelombang 6 mikrometer, untuk memperoleh data sinaran infra merah diambil gelombang dengan panjang gelombang sekitar 10,5 sampai 12,5 mikrometer. Gelombang ini tidak atau sedikit sekali diserap atmosfer, tetapi banyak diserap / dipancarkan oleh butir – butir awan.

    Dari foto infra merah yang dihasilkan oleh radiometer, menunjukkan bahwa makin rendah suhunya, warna foto makin putih. Seperti telah diuraikan, radiometer yang dipasang di satelit mengukur banyaknya sinaran infra merah yang sampai ke satelit. Sinaran tersebut berasal dari berbagai benda di permukaan bumi dan di dalam atmosfer. Oleh karena itu sering terlihat bahwa benda yang berlainan tetapi bersuhu sama tinggi, terlihat dalam warna yang sama. Dengan demikian pengukuran yang mendekati pada benda yang bersangkutan dapat diperoleh apabila benda tersebut jauh lebih luas daripada benda – benda yang lain di sekitarnya. Untuk awan yang terpencar, sinarannya banyak tercampur dengan sinaran benda lain sehingga suhu yang diperhitungkan sering lebih tinggi dari sebenarnya.

    Jadi perlu diketahui bahwa perbedaan warna dalam foto tampak (visible) menyatakan perbedaan daya pantul dan perbedaan warna dalam foto infra merah (IR) menyatakan perbedaan suhu.